JAKARTA - Setiap keluarga membawa dinamika yang berbeda, termasuk pengalaman pahit seperti perselingkuhan.
Kondisi ini sering menimbulkan kekhawatiran baru: apakah anak atau keturunan seseorang yang pernah terlibat dalam perselingkuhan berisiko mengulang pola yang sama? Kekhawatiran ini bisa muncul karena pengalaman masa kecil, paparan perilaku tidak sehat, hingga anggapan bahwa apa yang terjadi pada orang tua atau anggota keluarga sebelumnya akan kembali terulang pada generasi berikutnya.
Meski begitu, para ahli menjelaskan bahwa kenyataan tidak selalu sesederhana itu. Lingkungan memang berpengaruh, tetapi bukan satu-satunya penentu masa depan.
Hal tersebut ditegaskan oleh psikolog Clement Eko Prasetio, M.Psi., yang berpraktik di Indopsycare. Ia menjelaskan bahwa lingkungan keluarga yang memiliki sejarah perselingkuhan memang dapat memengaruhi cara seseorang memandang hubungan.
Namun, itu tidak berarti bahwa setiap keturunan pasti menjadi korban atau pelaku perselingkuhan. “Bisa saja ketika seseorang hidup dalam keluarga yang punya riwayat perselingkuhan, dia bisa menjadi pelaku atau korban. Tapi apakah selalu? Enggak selalu seperti itu. Tidak ada kepastian akan hal itu,” ujarnya. Meski ada peluang, tetap ada banyak faktor lain yang perlu dipertimbangkan.
Belajar dari Lingkungan yang Penuh Perselingkuhan
Kemungkinan seseorang meniru pola hubungan yang tidak sehat dari keluarganya berkaitan erat dengan teori pembelajaran sosial atau Social Learning Theory. Teori yang dicetuskan Albert Bandura ini menjelaskan bahwa manusia belajar melalui pengamatan dan peniruan. Dilansir dari situs University of California, Berkeley, observasi terhadap perilaku orang lain menjadi dasar bagaimana seseorang mempelajari kebiasaan dan respons tertentu.
Clement menjelaskan bahwa jika seseorang tumbuh di lingkungan yang sarat dengan perselingkuhan, ia dapat melihat pola tersebut sebagai sesuatu yang normal. “Ketika lingkungan kita menunjukkan suatu perilaku maka kita akan menirunya. Maka, bisa jadi seseorang meniru bahwa, ‘Oh keluarga saya memang kebanyakan seperti itu (berselingkuh) dan itu lumrah’,” tuturnya. Jika pola tersebut terus menerus dilihat sejak kecil tanpa ada paparan lain, seseorang dapat menganggap perselingkuhan sebagai bagian wajar dari hubungan.
Tidak hanya menganggap perselingkuhan sebagai hal yang lumrah, mereka juga dapat memandang bahwa hubungan yang tidak stabil adalah sesuatu yang normal. “Mungkin karena dia sering terpapar dari keluarga besarnya yang banyak perselingkuhan. Hubungan dengan perselingkuhan kan biasanya tidak stabil.
Dia jadinya belajar bahwa hubungan yang tidak stabil itu adalah hubungan yang ‘sehat’. Dan itu menjadi sesuatu yang miris,” lanjutnya. Kondisi ini membuat seseorang rentan terjebak dalam lingkaran pola hubungan yang tidak sehat apabila tidak ada proses pembelajaran baru.
Riwayat Selingkuh Tidak Menentukan Masa Depan Seseorang
Meski begitu, Clement menegaskan bahwa tidak semua orang yang tumbuh dalam keluarga dengan riwayat perselingkuhan akan mengulang pola yang sama. Ada banyak faktor yang turut memengaruhi perkembangan seseorang, termasuk lingkungan sosial yang lebih luas. Pertemanan yang beragam dan interaksi dengan orang-orang dari latar belakang keluarga yang lebih sehat dapat memberikan perspektif baru terhadap konsep hubungan.
Ketika seseorang memiliki jaringan pertemanan yang luas, ia dapat melihat bahwa tidak semua hubungan bersifat tidak stabil atau penuh perselingkuhan. Melalui lingkungan tersebut, ia dapat belajar bahwa pola yang terjadi di keluarganya bukan hal yang ideal. “Jadi, ketemu dengan orang-orang lain sehingga lebih besar pengetahuannya. Kemudian juga, dia bisa melakukan refleksi dan membandingkannya dengan nilai-nilai moral lainnya, misalnya nilai agama, sosial, dan hukum,” ujar Clement. Dengan paparan dan refleksi tersebut, seseorang dapat membangun keinginan untuk menjalani hubungan yang lebih sehat ketika berkeluarga kelak.
Memahami Cara Mencegah Perselingkuhan
Meski riwayat keluarga mungkin memengaruhi cara seseorang memandang hubungan, perselingkuhan pada dasarnya tidak terjadi begitu saja. Banyak faktor pemicu, tetapi salah satu yang sering muncul adalah rasa bosan.
Psikolog klinis Yustinus Joko Dwi Nugroho, M.Psi., yang berpraktik di RS DR Oen Solo Baru, menjelaskan bahwa perselingkuhan biasanya terjadi ketika ada peluang dan salah satu pihak membuka diri terhadap orang lain selain pasangan. “Walaupun orang berusaha masuk, saat kita punya masalah dengan pasangan seperti merasa bosan, tapi kita enggak pernah mau untuk membuka diri kita kepada mereka maka tidak mungkin itu terjadi perselingkuhan,” ujarnya.
Jika seseorang khawatir akan mengulangi pola yang sama seperti keluarganya, salah satu langkah pencegahan yang efektif adalah membangun kembali kebiasaan yang dulu pernah dilakukan bersama pasangan tetapi mulai jarang dilakukan.
Menghidupkan kembali rutinitas positif, memperbaiki komunikasi, serta menjaga kualitas waktu bersama dapat membantu meminimalkan rasa jenuh. Selain itu, terbuka mengenai perasaan, kebutuhan, dan ekspektasi dalam hubungan juga menjadi kunci penting untuk mencegah munculnya jarak emosional.