Jakarta - Pemerintah Indonesia mengumumkan langkah strategis dengan menetapkan kebijakan bahwa 100 persen Devisa Hasil Ekspor (DHE) harus disimpan di dalam negeri selama setahun penuh. Aturan ini dijadwalkan mulai berlaku pada 1 Maret 2025 mendatang.
Kebijakan ini diharapkan dapat memperkuat cadangan devisa dan stabilitas nilai tukar rupiah, dengan dukungan dari Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), perbankan, dan bea cukai untuk mempersiapkan sistem penerapannya, Jumat, 24 Januari 2025.
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), Jahja Setiaatmadja, menanggapi kebijakan baru ini dengan hati-hati. Dalam konferensi pers akhir tahun BCA, Jahja menyatakan, “Kalau ditanya berapa besar kenaikannya, saya tidak tahu. Kita lihat akhir tahun 2025, saya tidak bisa meramalkan.” Menurut Jahja, eksportir yang mengandalkan pasar lokal atau domestik memiliki opsi untuk membiayai operasionalnya melalui sektor tersebut, tetapi bagi yang berfokus pada 100 persen ekspor, perlu strategi lain untuk memenuhi kebutuhan operasional dan investasinya. “Apakah dia harus melakukan back to back, menjaminkan DHE-nya, menarik pinjaman. Yang penting mereka bisa meneruskan bisnisnya untuk operating cost,” tambah Jahja.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, memaparkan bahwa pemerintah akan segera merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2023, yang memfokuskan pada pengelolaan Devisa Hasil Ekspor dari sektor Sumber Daya Alam (SDA). Revisi ini akan mengharuskan semua eksportir, termasuk BUMN, untuk menyimpan seluruh DHE di dalam negeri. “Terhadap kebijakan ini, pemerintah akan segera merevisi PP Nomor 36, dan akan diperlakukan per 1 Maret tahun ini,” jelas Airlangga. Tujuan dari aturan ini adalah menjadikan kebijakan Indonesia sebanding dengan negara-negara lain, seperti Malaysia dan Thailand, yang sudah mewajibkan strategi yang serupa.
Untuk mendukung para eksportir, Bank Indonesia menyiapkan berbagai insentif, termasuk pajak penghasilan nol persen atas pendapatan bunga dari instrumen penempatan DHE. “Kalau reguler biasanya kena pajak 20 persen, tetapi untuk DHE 0 persen,” ungkap Airlangga. Lebih lanjut, skema ini juga memungkinkan pemanfaatan DHE sebagai agunan back to back kredit rupiah serta swap valas dengan BI, mengakomodasi kebutuhan rupiah untuk kegiatan usaha di dalam negeri.
Namun, kebijakan ini tidak lepas dari tanggapan dan kritik berbagai kalangan. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, bersama dengan sejumlah asosiasi lainnya, mengadakan diskusi mendalam menilai efektifitas kebijakan ini. Wakil Ketua Umum Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Publik Kadin Indonesia, Suryadi Sasmita, menyuarakan, “Kami melihat bahwa PP No. 36 Tahun 2023 kurang efektif dalam tahapan implementasi jika tujuannya untuk memperkuat nilai tukar Rupiah."
Suryadi menekankan bahwa kebijakan DHE yang berlaku saat ini menciptakan tantangan bagi arus kas operasional perusahaan, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi global. “Terlebih lagi, tidak seluruh perusahaan dapat memperoleh kemudahan akan kredit perbankan domestik,” katanya, sambil menyoroti dampak kebijakan ini terhadap kemampuan perusahaan untuk mengatur arus kas dan memenuhi kewajiban finansial lainnya.
Kadin Indonesia bersama para asosiasi dunia usaha mengharapkan agar revisi aturan DHE yang akan datang tidak memberatkan eksportir. Meskipun ada usulan peningkatan persentase DHE yang harus disimpan menjadi 50% atau 75% dalam setahun, kewajiban ini bisa membebani arus kas perusahaan. "Kami berharap agar pemerintah mempertimbangkan pengecualian bagi eksportir yang telah memenuhi kewajiban pajak dan mengonversikan devisa ke dalam rupiah,” pungkas Suryadi.
Dengan persiapan dari berbagai pihak terkait, pemerintah berharap aturan baru ini akan efektif dalam mendukung ekonomi nasional, sembari mendengarkan masukan dari sektor swasta untuk menyesuaikannya dengan kebutuhan industri. Namun, seiring pelaksanaannya pada awal Maret 2025, semua mata akan tertuju pada bagaimana kebijakan ini akan berdampak pada sektor ekspor dan perekonomian secara keseluruhan.