Bandung, sebuah kota yang sarat akan sejarah, terutama dengan peristiwa Lautan Api yang terkenal pada tahun 1946, kini memiliki wajah baru. Bukan peristiwa sejarah atau keindahan alamnya yang akan kita bahas, melainkan perubahan infrastruktur yang menarik perhatian publik. Bandung kini layaknya sebuah "Lautan Flyover." Pembangunan flyover yang masif sebagai upaya untuk mengurangi kemacetan seolah menjadi solusi utama bagi kota yang juga dikenal sebagai surga wisata, pendidikan, dan kuliner ini.
Penduduk lokal hingga wisatawan mengenal Bandung sebagai kota yang romantis, syahdu, dan penuh ketenangan. Namun, ada realita lain yang kerap kali diabaikan: kemacetan lalu lintas yang parah, banyaknya praktik pungutan liar, banjir ketika musim hujan tiba, dan fasilitas transportasi umum yang jauh tertinggal bila dibandingkan dengan Jakarta.
Sebut saja Andi, salah satu pengguna jalan setia dari Banjaran menuju Kota Cimahi. Hari-harinya dihabiskan dengan perjalanan yang mencakup jarak puluhan kilometer dalam waktu lebih dari satu jam menggunakan sepeda motor. "Pilihan transportasi umum sangatlah terbatas, naik angkot harus berkali-kali, sedangkan bus dengan trayek yang sesuai sangat jarang ditemui," cerita Andi tentang pengalaman hariannya. Pernyataannya menggambarkan kondisi transportasi umum Bandung yang masih jauh dari kata ideal.
Bandung saat ini dipenuhi oleh flyover yang menjulang di berbagai titik strategis kota. Selama sepuluh tahun terakhir, pemerintah setempat giat membangun flyover sebagai upaya untuk mengatasi problematika kemacetan. Namun sayangnya, alih-alih mengatasi masalah lalu lintas, pembangunan ini malah memfasilitasi kendaraan pribadi, tanpa ada peningkatan signifikan pada transportasi publik.
Misalnya, flyover Padasuka dan Antapani yang baru saja rampung, yang diharapkan dapat menjadi solusi bagi kepadatan lalu lintas di kedua area tersebut. Nyatanya, keberadaan flyover ini tidak serta-merta memperlancar arus lalu lintas bagi pengguna transportasi umum. Warga Bandung mengeluhkan minimnya pembaruan terhadap moda transportasi publik, seperti angkot, bus umum, atau kereta lokal yang bisa menjadi alternatif bagi warga untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan lebih efisien dan terjangkau.
Fakta bahwa Bandung memiliki daya tarik wisata yang luar biasa, mulai dari wisata belanja, kuliner, hingga kecantikan alamnya, menjadikannya magnet bagi wisatawan domestik dan mancanegara. Hal ini tentunya meningkatkan volume kendaraan pribadi yang masuk ke kota, terutama pada akhir pekan dan musim liburan. Strategi pembangunan flyover seolah hanya ditujukan untuk mengakomodasi masuknya kendaraan-kendaraan tersebut, tanpa memikirkan optimasi moda transportasi umum.
"Di satu sisi, flyover ini memang dapat membantu mengurai kemacetan, tetapi efek jangka panjangnya adalah kian banyak orang yang bergantung pada kendaraan pribadi," ungkap seorang pengamat transportasi di Bandung. Pandangannya seakan memberikan kesadaran bahwa kebutuhan akan sistem transportasi yang lebih efektif dan komprehensif sangatlah mendesak.
Tidak cukup hanya mengandalkan pembangunan fisik seperti flyover, Bandung memerlukan solusi yang menyeluruh untuk masalah transportasi publiknya. Langkah yang dapat diambil termasuk pembaruan dan peningkatan kapasitas dan kualitas moda transportasi umum, integrasi sistem transportasi yang lebih baik, serta promosi kebijakan-kebijakan untuk mendorong penggunaan transportasi publik.
Bandung yang terkenal dengan kreativitas dan inovasinya, seyogyanya bisa menjawab tantangan ini dengan solusi yang out of the box. Kota ini memerlukan kebijakan yang tidak hanya fokus pada kendaraan pribadi, tetapi lebih pada peningkatan transportasi publik yang berkelanjutan serta mendorong kebiasaan masyarakat untuk beralih ke moda transportasi massal. Dengan demikian, pembangunan infrastruktur seperti flyover dapat berjalan seiring dengan pengembangan transportasi umum, untuk menciptakan iklim mobilitas yang lebih baik dan ramah lingkungan.