JAKARTA - Ketahanan pangan menjadi isu strategis bagi Indonesia.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian menegaskan, pemerintah daerah (pemda) memiliki peran krusial dalam menjaga dan melindungi lahan persawahan di wilayahnya.
Pelindungan sawah bukan sekadar formalitas administratif, melainkan langkah nyata yang menentukan kemampuan negara untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat tanpa tergantung pada impor.
Tito menyampaikan hal tersebut saat memimpin Rapat Koordinasi Pembahasan Penataan Ulang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), alih fungsi lahan, serta pembahasan lahan baku sawah (LBS) dan kawasan pertanian pangan berkelanjutan (KP2B). Acara digelar secara hybrid dari Ruang Sidang Utama, Kantor Pusat Kemendagri, Jakarta.
“Inti dasar rapat ini adalah penataan ulang rencana tata ruang wilayah yang terkait dengan lahan baku sawah, lahan pertanian pangan berkelanjutan, serta kawasan pertanian pangan berkelanjutan. Intinya itu. Tindak lanjutnya adalah daerah harus membuat kebijakan untuk melindungi persawahan yang sudah ada,” ujar Tito.
Visi Presiden RI dalam Swasembada Pangan
Pelindungan sawah sejalan dengan visi utama Presiden RI Prabowo Subianto, yaitu mewujudkan swasembada pangan. Presiden menekankan, kemerdekaan suatu negara tidak hanya diukur dari terbebasnya kolonialisme, tetapi juga dari kemampuannya memberi makan rakyat secara mandiri.
Berbagai upaya terus dilakukan untuk mendorong produksi pangan, mulai dari penguatan lahan, pembangunan irigasi, penyediaan pupuk, hingga distribusi alat dan mesin pertanian (alsintan).
Strategi ini mencakup dua pendekatan utama: optimalisasi lahan pertanian yang sudah ada dan pembukaan sawah baru di wilayah yang sebelumnya bukan persawahan. Optimalisasi menjadi fokus utama untuk meningkatkan produksi beras dalam negeri, memastikan pasokan pangan tetap aman.
Revisi Tata Ruang sebagai Instrumen Strategis
Penataan tata ruang menjadi langkah penting agar kebijakan pelindungan lahan sawah berjalan efektif. Tito menyatakan, “Kita harus betul-betul memahami hal ini. Ada tindak lanjut yang perlu dilakukan, di antaranya revisi RTRW. Kami mengapresiasi daerah yang sudah melakukan revisi tersebut.”
Pemda harus memastikan luas lahan sawah tidak berkurang akibat alih fungsi yang tidak terkendali. Lahan sawah yang ada harus dipertahankan dan tidak dikonversi menjadi kawasan komersial atau industri.
Revisi RTRW harus memberikan porsi jelas bagi KP2B dan memastikan LBS tervalidasi melalui data lapangan maupun citra satelit.
Tito menambahkan, “Citra satelit dapat digunakan untuk membuat peta yang bisa diperbesar secara detail. Peran Badan Informasi Geospasial (BIG) sangat penting untuk melakukan rekonsiliasi dan verifikasi data, tidak hanya mengandalkan survei lapangan atau peta yang dibuat berdasarkan data daratan.”
Kolaborasi Lintas Kementerian dan Satgas
Dalam mempercepat revisi tata ruang, Kemendagri berkolaborasi dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, Kementerian Pertanian, BIG, dan instansi terkait untuk membentuk satuan tugas (satgas) gabungan. Satgas bertugas mengawal revisi tata ruang daerah agar kebijakan pelindungan lahan sawah diterapkan secara efektif.
Selain itu, pemerintah mendorong terciptanya iklim kompetitif antar daerah. Daerah yang cepat menyelesaikan revisi RTRW dan menunjukkan komitmen terhadap pelindungan lahan sawah akan menerima penghargaan dan insentif.
Tito menegaskan, “Daerah yang belum melakukan revisi pasti akan kami kejar. Kami juga akan menciptakan iklim kompetitif, misalnya awal tahun depan kami memberi penghargaan kepada daerah yang cepat melakukan revisi atau provinsi yang paling banyak menyelesaikannya.”
Kehadiran Pemangku Kepentingan dan Kolaborasi
Rapat koordinasi ini dihadiri Menteri ATR/Kepala BPN Nusron Wahid, Wakil Menteri Pertanian Sudaryono, Kepala BMKG Teuku Faisal Fathani, Kepala BIG Muh Aris Marfai, serta Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari.
Kehadiran para pejabat menegaskan pentingnya kolaborasi lintas kementerian dalam menjaga ketahanan pangan melalui perlindungan lahan sawah.
Tito menekankan bahwa pelindungan sawah harus menjadi investasi jangka panjang. Hilangnya lahan sawah akan meningkatkan ketergantungan pada impor pangan, berisiko mengganggu stabilitas pangan dan ekonomi nasional, serta memicu degradasi lingkungan, banjir, dan masalah sosial di pedesaan.
Implementasi Kebijakan di Lapangan
Kebijakan pelindungan lahan sawah tidak boleh sebatas administrasi. Pemda perlu menyiapkan regulasi lokal yang konkret, memastikan peta lahan sawah tervalidasi, dan mengawasi implementasinya di lapangan. Hal ini sejalan dengan amanat presiden untuk menjaga ketahanan pangan sambil memperhatikan aspek lingkungan.
Revisi RTRW menjadi instrumen strategis yang memungkinkan pemda menyeimbangkan pembangunan dengan kebutuhan pertanian. Dengan peta akurat dan regulasi jelas, pemda dapat memastikan lahan sawah tetap produktif, tidak tergerus pembangunan non-pertanian, dan mendukung swasembada pangan jangka panjang.
Secara keseluruhan, pernyataan Mendagri menegaskan bahwa ketahanan pangan nasional sangat bergantung pada langkah nyata pemda dalam melindungi persawahan.
Dukungan kebijakan, pemetaan yang tepat, serta pengawasan ketat menjadi kunci agar produksi pangan domestik tetap stabil dan masyarakat Indonesia tidak tergantung pada impor.
Dengan upaya ini, swasembada pangan bukan sekadar target pemerintah, tetapi menjadi kenyataan di lapangan. Perlindungan lahan sawah menjadi fondasi penting untuk mewujudkan visi nasional yang berkelanjutan, aman secara pangan, dan memperkuat kedaulatan negara dalam menghadapi tantangan global.