JAKARTA - Menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2025, sektor perhotelan di Indonesia tengah mempersiapkan diri untuk menghadapi lonjakan kunjungan wisatawan.
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menegaskan bahwa momentum liburan akhir tahun tetap menjadi peluang bagi industri perhotelan untuk menjaga tingkat hunian kamar atau okupansi di tengah tren penurunan yang terjadi beberapa bulan terakhir.
Ketua Umum PHRI, Hariyadi Sukamdani, menyampaikan bahwa pelaku usaha berharap dapat mempertahankan tingkat okupansi pada periode liburan akhir tahun, bahkan berpotensi meningkat dibandingkan tahun sebelumnya.
Ia mengakui bahwa sejak Juli hingga September 2025, tren hunian hotel memang mengalami penurunan yang tidak biasa.
“Ekspektasi kita minimal sama dengan tahun lalu, mudah-mudahan bisa lebih. Memang kalau kita melihat periode Juli, Agustus, September, trennya turun. Yang mana itu agak anomali, sih, biasanya semester dua itu lebih bagus,” ujar Hariyadi.
Tantangan Penurunan Daya Beli
Menurut Hariyadi, faktor utama yang memengaruhi penurunan okupansi adalah melemahnya daya beli masyarakat. Fenomena ini terlihat hampir di seluruh wilayah Indonesia, termasuk kawasan industri Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Di kawasan tersebut, sejumlah hotel bahkan terpaksa menghentikan operasional sementara hingga mempertimbangkan untuk melepas bisnisnya akibat turunnya tingkat kunjungan wisatawan.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa industri perhotelan tidak hanya bergantung pada pariwisata semata, melainkan juga pada aktivitas industri dan perusahaan di sekitar lokasi.
“Itu juga kita heran, kenapa ya? Di sana kan daerah industri, tetapi ya impact-nya begitu, luar biasa. Impact memang ada satu, dari anggaran pemerintah yang dipotong itu ada pengaruh. Tapi yang kedua itu industri. Ternyata industri itu juga mengurangi budget termasuk vendornya, vendornya industri itu juga banyak yang mengurangi kunjungan,” kata Hariyadi.
Dampak Kebijakan dan Industri
Hariyadi menilai, selain faktor daya beli, penyesuaian anggaran pemerintah serta efisiensi operasional dari industri-industri besar juga memberikan dampak signifikan pada okupansi hotel.
Pengurangan anggaran perjalanan dinas dan kegiatan perusahaan mengurangi frekuensi kunjungan ke daerah, yang berimbas pada penurunan tingkat hunian penginapan di sekitarnya.
Meski demikian, PHRI tetap optimistis bahwa okupansi hotel pada periode Nataru tahun ini dapat setidaknya menyamai capaian tahun sebelumnya. Bagi pelaku usaha, mempertahankan tingkat hunian dalam situasi saat ini sudah menjadi capaian positif.
Tanggapan Kementerian Pariwisata
Sementara itu, Menteri Pariwisata (Menpar) Widiyanti Putri Wardhana menyebut bahwa tren penurunan okupansi hotel juga dipengaruhi oleh pergeseran pola wisatawan.
Menurutnya, sebagian wisatawan kini lebih memilih akomodasi alternatif seperti vila, yang banyak beroperasi di destinasi wisata populer.
“Ini yang sedang kami rapikan dan tertibkan. Vila-vila itu banyak sekali yang tidak terdaftar dan tidak membayar pajak,” ungkap Widiyanti.
Pemerintah pun sedang berupaya menertibkan operasional vila agar tercatat secara resmi, sekaligus memastikan kontribusinya terhadap penerimaan negara melalui pajak. Hal ini diharapkan mampu menyeimbangkan persaingan antara hotel dan akomodasi alternatif.
Data dari Badan Pusat Statistik
Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat tren yang sama. Deputi Bidang Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini, menyampaikan bahwa tingkat penghunian kamar (TPK) hotel bintang pada Juli 2025 berada di angka 52,79 persen.
Angka tersebut mengalami peningkatan dibandingkan bulan sebelumnya secara bulanan (month to month/MtM), tetapi turun 3,57 persen poin secara tahunan (year-on-year/YoY).
“Secara umum, hampir seluruh provinsi mengalami peningkatan TPK Hotel Bintang pada bulan Juli 2025 dibandingkan dengan Juni 2025,” jelas Pudji.
Meski demikian, kontraksi tahunan masih terasa, meskipun tidak sedalam Juni 2025 yang mencatat penurunan hingga 4,71 persen YoY. Tren serupa juga terjadi pada hotel nonbintang yang mengalami penurunan sebesar 1,42 persen YoY pada periode yang sama.
Harapan di Akhir Tahun
Bagi pelaku usaha perhotelan, libur Nataru selalu menjadi momentum yang ditunggu. Selain mendorong tingkat hunian, periode ini juga berkontribusi terhadap peningkatan pendapatan restoran, fasilitas hiburan, hingga layanan pendukung di sekitar destinasi wisata.
Hariyadi menegaskan bahwa jika okupansi hotel pada libur akhir tahun ini mampu menyamai capaian tahun sebelumnya, hal tersebut sudah menjadi hasil yang memuaskan.
Pasalnya, tantangan industri perhotelan pada 2025 cukup kompleks, mulai dari daya beli, pergeseran tren wisatawan, hingga kebijakan anggaran pemerintah dan dinamika industri.
“Kalau bisa sama dengan tahun lalu, itu sudah bagus sekali. Kita berharap bisa lebih, tetapi mempertahankan capaian di tengah kondisi sekarang juga sudah pencapaian,” kata Hariyadi.
Secara keseluruhan, meski industri perhotelan menghadapi tantangan penurunan okupansi sepanjang 2025, prospek akhir tahun tetap memberi optimisme.
Dukungan pemerintah melalui penertiban akomodasi alternatif, ditambah dengan momentum liburan Nataru, diharapkan menjadi katalis bagi stabilitas tingkat hunian hotel di seluruh Indonesia.
Bagi PHRI, menjaga okupansi hotel tetap stabil pada libur Nataru 2025 bukan hanya tentang angka, melainkan juga soal keberlanjutan industri perhotelan sebagai salah satu tulang punggung pariwisata nasional.
Dengan sinergi antara pelaku usaha, pemerintah, dan masyarakat, sektor perhotelan diharapkan mampu melewati periode sulit dan kembali tumbuh di tahun-tahun mendatang.