Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) memberikan dukungan penuh terhadap kebijakan pemerintah Indonesia dalam membatasi ekspor limbah sawit, residu asam tinggi, dan minyak jelantah. Kebijakan ini dinilai penting dalam mendukung produksi bahan bakar berkelanjutan, khususnya sustainable aviation fuel (SAF). Pada Rabu,21 Januari 2025. Pelaksana Tugas Ketua DMSI, Sahat Sinaga, menegaskan dukungan tersebut dalam keterangannya yang diterima di Jakarta.
Sahat menyoroti kebijakan pembatasan tersebut sebagai langkah krusial dalam memperkuat upaya hilirisasi yang telah dicanangkan Presiden Prabowo Subianto. "Kebijakan pembatasan tersebut memperkuat upaya hilirisasi yang dijalankan Presiden Prabowo Subianto," ujarnya. Sejak Agustus 2011, Indonesia telah mengarahkan pengembangan industri sawit ke arah hilirisasi, memastikan produk yang diekspor memiliki nilai tambah yang lebih tinggi.
Peraturan Mendukung Hilirisasi
Pola hilirisasi di Indonesia diperkuat dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan No.128/PMK.011/2011. Dalam regulasi ini, produk hulu dikenai bea keluar yang lebih tinggi, sementara produk hilir dikenai bea keluarm yang lebih rendah. Kebijakan ini bertujuan mendorong industri sawit Indonesia untuk fokus pada produk-produk dengan nilai tambah tinggi di pasar internasional.
Pembatasan ekspor minyak sawit, khususnya bagi kelompok II dalam tabel Peraturan Menteri Keuangan (PMK) — yang meliputi POME (Palm Oil Mill Effluent), residu seperti Empty Fruits Bunch Oil dan HAPO, serta minyak jelantah atau UCO — dilakukan untuk menjamin ketersediaan minyak sawit bagi pasar dalam negeri.
Pentingnya Bahan Bakar Penerbangan yang Berkelanjutan
Dalam penjelasannya, Sahat Sinaga mengungkapkan bahwa permintaan global akan bahan bakar berkelanjutan untuk penerbangan semakin meningkat. Salah satu langkah internasional untuk ini adalah skema Carbon Offsetting and Reduction Scheme for International Aviation (CORSIA) yang menyatakan bahwa sustainable aviation fuel (SAF) tidak boleh berasal dari bahan baku yang diproduksi di kawasan penebangan hutan primer atau daerah rawa yang lahannya ditanam setelah 31 Desember 2008.
"Feedstock lainnya yang dapat digunakan untuk membuat SAF sudah dijelaskan dalam tabel oleh CORSIA, dan semua jenis produk yang ada di Kelompok II- PMK termasuk dalam kriteria tersebut," jelas Sahat. Ia menambahkan bahwa pada tahun 2026, akan ada regulasi penerbangan yang mewajibkan penggunaan SAF dalam bahan bakar pesawat terbang dengan rasio mencapai 5 persen. "Kalau tidak maka penerbangan itu akan didenda besar, sebesar emisi gas rumah kaca yang dihasilkannya. Artinya, semakin jauh jarak penerbangannya, semakin besar denda yang akan dikenakan oleh International Civil Aviation Organization (ICAO)," ujarnya.
Memanfaatkan Potensi Lokal untuk SAF
Dalam konteks ini, Indonesia memiliki kepentingan strategis untuk memproduksi SAF menggunakan bahan baku lokal yang ketersediaannya dapat dijamin melalui kebijakan pembatasan ekspor yang ada. Menurut Sahat, bahan baku seperti POME, UCO, dan HAPOR dianggap potensial sebagai bahan bakar SAF. Untuk itu, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) didorong untuk segera mengembangkan SAF sejalan dengan visi Presiden Prabowo dalam membangun swasembada pangan dan energi berbasis sawit.
Regulasi Baru untuk Mendukung Kebijakan Hilirisasi
Dalam rangka memperkuat kebijakan hilirisasi dan mengantisipasi kebutuhan lokal bahan baku untuk produksi SAF, pemerintah juga merancang peraturan baru. DMSI mendukung penuh aturan ini, yakni Permendag No. 2/2025 tentang "Ketentuan Ekspor Produk Turunan Kelapa Sawit". Kebijakan ini menegaskan bahwa produk-produk sawit di Kelompok II akan diperketat sesuai regulasi baru tersebut.
Sahat menekankan bahwa kebijakan ini sejalan dengan komitmen Indonesia dalam mengembangkan industri yang lebih berkelanjutan dan bernilai tambah tinggi. "Kebijakan ini sejalan dengan kebijakan hilirisasi dan antisipasi kebutuhan produk-produk yang dimaksud untuk menghasilkan SAF di dalam negeri," tutupnya.
Melalui langkah-langkah strategis ini, Indonesia diharapkan dapat memperkuat posisinya dalam rantai pasok industri penerbangan yang berkelanjutan, sembari mendorong pertumbuhan ekonomi lokal yang lebih berkelanjutan. Kebijakan pembatasan ekspor minyak jelantah dan produk sejenisnya diharapkan mampu mengoptimalkan penggunaan sumber daya domestik untuk keuntungan nasional dan kontribusi terhadap isu lingkungan global.