Industri batubara Indonesia, yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian nasional, saat ini sedang menghadapi tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dengan target pemerintah untuk menurunkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diperkirakan mencapai Rp600 triliun pada tahun 2025, sektor ini berhadapan dengan kebijakan devisa yang semakin ketat dan persaingan global yang semakin meningkat.
Pada November 2024 lalu, sektor batubara menyumbang hingga Rp121 triliun dalam bentuk royalti bagi perekonomian Indonesia. Namun, rencana penyesuaian kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) menghadirkan tantangan serius. Kebijakan baru tersebut berencana meningkatkan kewajiban eksportir untuk menempatkan 50% dari hasil ekspor mereka di bank-bank dalam negeri selama enam bulan. Saat ini, kewajiban tersebut hanya 30% dengan periode penahanan tiga bulan.
Tantangan arus kas menjadi permasalahan terbesar akibat perubahan kebijakan ini. Misalnya, perusahaan tambang yang menghasilkan pendapatan ekspor sebesar 100 juta dolar AS harus mengunci 50 juta dolar di dalam negeri selama enam bulan. "Situasi ini menciptakan dilema serius bagi operasional perusahaan," kata seorang narasumber dari salah satu perusahaan tambang besar yang enggan disebutkan namanya.
Pemerintah memang menawarkan bunga simpanan sebesar 4,48% untuk dana DHE di bank domestik, tetapi hal ini tidak sebanding dengan bunga pinjaman yang lebih tinggi, umumnya mencapai angka 8% atau lebih. "Kesenjangan antara bunga simpanan dan bunga pinjaman ini menciptakan beban tambahan yang signifikan bagi kami," tambah narasumber tersebut.
Selain tekanan dari kebijakan DHE, industri batubara juga menghadapi tantangan dari sistem royalti. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2022, royalti yang diterapkan mencapai 3% hingga 13,5%, tergantung kalori dan harga jual batubara. Ironisnya, ketika harga batubara naik, seharusnya produsen mendapatkan keuntungan lebih. Namun, kenaikan royalti justru menggerus potensi profit.
Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) yang mengharuskan perusahaan menjual sebagian produksi ke PLN dengan harga 70 dolar AS per ton turut menjadi tantangan. "Meski diperlukan untuk menjaga stabilitas harga energi, bagi perusahaan dengan biaya produksi tinggi, margin penjualan DMO sangat tipis," ungkap narasumber.
Di tingkat internasional, dinamika pasar batubara global juga berubah. Tiongkok, pembeli terbesar batubara Indonesia, kini meningkatkan produksi domestiknya setelah menemukan cadangan baru di perbatasan Mongolia serta wilayah utara dan barat negara tersebut. Ini mempengaruhi permintaan batubara Indonesia secara signifikan.
Selain itu, India, sebagai importir besar lainnya, juga meningkatkan produksi domestiknya ke tingkat tertinggi sepanjang masa. Peningkatan produksi di kedua negara ini menekan harga batubara global. Sesuai hukum penawaran dan permintaan, peningkatan pasokan yang signifikan berpotensi menekan harga dalam jangka menengah hingga panjang.
Dalam menghadapi berbagai tantangan ini, industri batubara Indonesia perlu melakukan diversifikasi pasar, terutamanya ke Asia Tenggara. Vietnam dan Thailand muncul sebagai pasar potensial yang perlu dieksplorasi lebih jauh. Vinacomin, perusahaan tambang terbesar di Vietnam, telah mengumumkan rencana penjualan 50 juta ton batubara pada tahun 2025. "Vietnam menunjukkan potensi besar, seiring pertumbuhan pusat manufakturnya," ujar seorang analis pasar yang juga enggan disebutkan namanya.
Thailand pun menunjukkan potensi serupa. Dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan sektor manufaktur yang berkembang, negara ini membutuhkan pasokan energi yang andal dan terjangkau. Hal ini membuka peluang bagi eksportir batubara Indonesia untuk mengurangi ketergantungan mereka pada pasar Tiongkok dan India.
Ke depannya, industri batubara Indonesia perlu beradaptasi dan mencari solusi inovatif agar tetap kompetitif di tengah perubahan dinamika global. Diversifikasi pasar, bersama dengan efisiensi operasional dan peningkatan kualitas produk, dapat menjadi strategi kunci dalam menghadapi turbulensi ekonomi saat ini.