Gas

Program Gas Murah Industri: Solusi atau Tantangan bagi Industri Manufaktur Indonesia?

Program Gas Murah Industri: Solusi atau Tantangan bagi Industri Manufaktur Indonesia?
Program Gas Murah Industri: Solusi atau Tantangan bagi Industri Manufaktur Indonesia?

JAKARTA - Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perindustrian (Kemenperin) kembali menaruh perhatian besar pada keberlangsungan program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) atau gas murah industri. Keberlanjutan program ini dinilai sangat krusial bagi sektor manufaktur nasional yang kerap menghadapi tantangan besar di tengah fluktuasi ekonomi global.

Sejak pertama kali diberlakukan pada tahun 2020, HGBT telah menawarkan harga gas yang lebih rendah, yakni sekitar 6 dolar AS per MMBtu, untuk tujuh subsektor industri utama, yaitu pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, gelas kaca, dan sarung tangan karet. Kebijakan ini telah menjadi penopang penting bagi industri yang sangat bergantung pada gas bumi sebagai sumber energi utama.

Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri, menekankan betapa vitalnya program ini bagi kelangsungan industri di Indonesia. "Apabila program HGBT tidak dilanjutkan, banyak industri mungkin mengalami kesulitan, dan ini dapat berdampak pada penurunan indeks manufaktur atau Purchasing Manager Index (PMI)," jelas Febri saat berdiskusi dengan wartawan di kantor Kemenperin, Senin, 13 Januari.

Sebagai tambahan, studi dari ekonom Universitas Indonesia menunjukkan bahwa kenaikan harga gas sebagai bahan baku utama dapat menekan PMI dan menyebabkan kontraksi. "Tapi kalau harga gas turun, industri bergairah dan PMI bisa naik. Tentu kami berharap harga gas untuk industri tetap di harga 6 dolar AS dan suplainya lancar," tambah Febri.

Masa Depan Program HGBT yang Belum Pasti

Meski program HGBT dinilai penting, masa depan kebijakan ini masih belum mendapatkan kepastian. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menyatakan pihaknya sedang mengkaji kemungkinan pengurangan jumlah penerima manfaat HGBT. "Ada kemungkinan (pengurangan). Kami lagi bahas, tapi belum final, ya," ujar Bahlil kepada awak media di Gedung BPH Migas, Selasa, 7 Januari.

Bahlil menjelaskan bahwa evaluasi akan terus dilakukan untuk memahami dampak kebijakan tersebut pada penerima gas murah. "Tujuan HGBT adalah untuk meningkatkan nilai bisnis industri penerima. Namun, jika ditemukan perusahaan dengan peningkatan rate of return (IRR) yang signifikan, bisa jadi mereka akan dikeluarkan dari daftar penerima," ungkap Bahlil. "Tetapi, kalau yang masih membutuhkan dan kami lihat IRR-nya belum bagus, itu tetap kami pertahankan," tambahnya.

Dengan melihat kebijakan yang tengah dijalankan, pemerintah berusaha menjaga keseimbangan antara memastikan efisiensi alokasi sumber daya dan mendukung daya saing industri nasional.

Risiko Bagi Industri Manufaktur

Menghentikan atau mengurangi alokasi HGBT tentu tidak lepas dari risiko. Sektor manufaktur di Indonesia merupakan salah satu pilar penggerak ekonomi yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Dengan mengancam keberlanjutan HGBT, maka dapat terjadi pemotongan biaya produksi yang berakibat pada pemangkasan tenaga kerja atau bahkan menghentikan operasi pabrik.

Seorang pengamat ekonomi mengatakan bahwa meski kenaikan harga gas dapat mendongkrak efisiensi di beberapa perusahaan, banyak industri yang belum siap menghadapi peningkatan biaya secara mendadak. "Efek domino dari kenaikan harga gas dapat menyebabkan tidak hanya penurunan produksi, tetapi juga penurunan daya beli masyarakat karena kenaikan harga barang," ujarnya.

Menghadapi Masa Depan dengan Ketidakpastian

Keputusan akhir mengenai masa depan HGBT harus menyertakan analisis mendalam terhadap dampak ekonomi jangka panjangnya. Mengingat sektor manufaktur memiliki peran penting dalam perekonomian, kebijakan harus dirancang agar tetap mendukung produktivitas dan daya saing industri.

Tantangan ke depan adalah bagaimana merancang kebijakan yang dapat menggantikan ketergantungan pada subsidi gas tanpa menimbulkan guncangan ekonomi. "Perlu ada strategi transisi yang jelas, mungkin dalam bentuk diversifikasi sumber energi atau insentif bagi industri yang efisien," saran seorang ekonom.

Pemerintah diharapkan dapat segera memutuskan langkah evaluasi yang tepat agar industri tetap bergairah dan perekonomian tidak terganggu. Untuk itu, baik Kemenperin maupun kementerian terkait perlu bekerja sama dalam mencari solusi terbaik demi menjaga stabilitas dan pertumbuhan sektor industri di Indonesia.

Dengan dinamika dan tantangan yang ada, penting bagi semua pihak untuk memberikan dukungan penuh terhadap angin kebijakan yang dapat menjaga kestabilan operasi industri. Karena pada akhirnya, keterjaminan harga gas yang kompetitif akan menjadi penentu bagi kesiagaan Indonesia menghadapi persaingan manufaktur global di masa mendatang.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index