JAKARTA - Penutupan Konferensi Perubahan Iklim COP30 di Belem, Brasil, membuka babak penting bagi arah diplomasi iklim Indonesia.
Alih-alih menyoroti maraknya keputusan yang dihasilkan, Indonesia mengambil sudut pandang berbeda: penilaian keberhasilan forum ini harus bertumpu pada sejauh mana implementasi nyata dapat diwujudkan dalam beberapa tahun mendatang.
Dengan demikian, Indonesia menegaskan bahwa keberlanjutan komitmen kolektif harus berpijak pada dukungan internasional yang konkret, terutama bagi negara berkembang yang tengah berupaya menyeimbangkan pembangunan ekonomi dan pengurangan emisi.
COP30 tahun ini menjadi penanda satu dekade sejak Perjanjian Paris ditandatangani, sehingga negara-negara peserta dituntut memperbarui strategi global untuk memastikan pemenuhan target jangka panjang.
Hampir 200 negara sepakat bahwa tanpa pendanaan berbasis hibah, transfer teknologi yang dapat diakses, dan mekanisme transisi berkeadilan, komitmen iklim hanya akan menjadi formalitas.
Dari titik inilah Indonesia menegaskan kembali perlunya dukungan internasional yang benar-benar membantu, bukan menambah beban tambahan seperti utang atau syarat rumit.
Sikap kritis tersebut disampaikan melalui pernyataan penutupan delegasi Indonesia, yang menekankan bahwa masa depan aksi iklim global sangat ditentukan oleh efektivitas implementasi, bukan hanya kuantitas keputusan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan bahwa dukungan berbasis hibah, kapasitas teknis, serta akses teknologi merupakan prasyarat krusial yang tidak bisa ditawar.
“Implementasi tanpa dukungan nyata adalah retorika; kami menuntut pendanaan hibah, transfer teknologi, dan mekanisme yang adil agar negara berkembang dapat menerjemahkan komitmen menjadi aksi di lapangan,” ujar Deputi Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon KLH Ary Sudijanto.
Komitmen Indonesia pada Isu Adaptasi dan Penguatan Ketahanan
Dalam proses negosiasi, isu Global Goal on Adaptation (GGA) menjadi titik penting. Indonesia mendorong penciptaan indikator adaptasi yang sederhana, terukur, dan fleksibel sesuai konteks nasional.
Bagi Indonesia, adaptasi tidak dapat diperlakukan sebagai sekadar konsep abstrak atau teknokratis; indikator harus mampu diterjemahkan secara langsung menjadi aksi nyata yang melindungi masyarakat.
Delegasi Indonesia menolak segala bentuk penambahan beban administratif yang bisa menghambat pelaksanaan program adaptasi, terutama bagi negara berkembang.
Hal ini mencakup evaluasi terhadap penggunaan istilah-istilah konseptual seperti transformational adaptation, yang dianggap berpotensi menggeser fokus dari kebutuhan riil masyarakat di lapangan.
Bagi Indonesia, adaptasi sudah saatnya dipandang sebagai pilar utama ketahanan nasional, bukan sekadar pelengkap dalam kebijakan iklim. Oleh karena itu, penyusunan indikator harus memastikan bahwa negara berkembang memiliki keleluasaan untuk menyesuaikan langkah berdasarkan kapasitas masing-masing.
Penguatan Peran Gender dalam Kebijakan Iklim
Pada aspek gender, COP30 menghasilkan adopsi Belem Gender Action Plan (GAP) 2026–2034, sebuah pencapaian penting dalam mendorong kebijakan iklim yang lebih inklusif.
Indonesia menyambut baik pencapaian ini, namun secara tegas mengingatkan bahwa pelaksanaan GAP harus disesuaikan dengan proses nasional dan menghormati hukum domestik.
Delegasi Indonesia menyampaikan keberatan terhadap sejumlah istilah yang tidak sejalan dengan kerangka kebijakan nasional, termasuk penggunaan gender and age-disaggregated data.
Meski demikian, komitmen Indonesia terhadap isu gender tetap kuat melalui pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Gender dan Perubahan Iklim (RAN-GPI) 2024–2030 yang sudah lebih dahulu disusun sebagai kerangka nasional.
“Indonesia tetap berkomitmen mendukung implementasi Belem Gender Action Plan, dengan pemahaman bahwa pelaksanaannya harus didorong oleh proses nasional dan selaras dengan hukum yang berlaku,” tegas Ary Sudijanto.
Bagian ini menegaskan bahwa inklusivitas tetap menjadi fokus Indonesia, dengan memastikan perempuan dan kelompok rentan memperoleh manfaat nyata dari program iklim.
Transisi Berkeadilan sebagai Prinsip Utama Perubahan Struktural
Pada agenda Just Transition, Indonesia menekankan bahwa transformasi menuju ekonomi rendah karbon harus dilakukan secara adil, inklusif, dan tidak menambah beban utang bagi negara berkembang.
Transisi energi tidak boleh menjadi alasan munculnya tindakan unilateral negara maju yang merugikan negara mitra atau menciptakan tekanan ekonomi baru.
Karena itu, Indonesia bersama G77 and China terus mendorong pembentukan UNFCCC Just Transition Mechanism sebagai mekanisme pendukung yang memastikan bahwa proses transisi dilakukan tanpa merugikan pihak mana pun.
Hibah yang dapat diprediksi menjadi syarat utama bagi Indonesia untuk menjalankan transisi energi tanpa mengorbankan pembangunan sosial dan ekonomi.
Tidak hanya berbicara pada level prinsip, Indonesia menekankan pentingnya adanya standar internasional yang mengatur bagaimana negara berkembang melakukan transisi tanpa kehilangan daya saing atau mengorbankan kesejahteraan masyarakat.
Article 6 dan Kepastian Masa Depan Pasar Karbon
Pembahasan Article 6 menjadi salah satu fokus teknis penting bagi Indonesia. Pemerintah menilai bahwa mekanisme pasar dan nonpasar harus ditopang oleh pendanaan yang memadai untuk kesiapan teknis serta registri internasional yang transparan.
Indonesia juga menegaskan perlunya kejelasan dalam transisi proyek CDM ke dalam kerangka Article 6 agar integritas pasar karbon global tetap terjaga.
Kepastian pasar karbon menjadi penting karena sektor swasta membutuhkan kejelasan regulasi untuk berinvestasi dalam proyek pengurangan emisi. Indonesia menekankan bahwa tanpa dukungan teknis dan pendanaan yang cukup, mekanisme ini tidak akan mampu memberikan manfaat maksimal bagi negara berkembang.
Desakan Reformasi Pendanaan Iklim Global
Salah satu pesan paling tegas Indonesia dalam COP30 adalah perlunya reformasi arsitektur pendanaan global. Negara berkembang membutuhkan pendanaan yang dapat diprediksi, berbasis hibah, dan tidak membebani anggaran.
Indonesia kembali menegaskan target pembiayaan iklim global sebesar US$1,3 triliun per tahun pada 2035, termasuk US$300 miliar yang dialokasikan khusus untuk negara berkembang. Selain itu, pembiayaan adaptasi harus meningkat tiga kali lipat untuk mencapai setidaknya US$120 miliar per tahun pada 2030.
Indonesia juga menekankan pentingnya Global Stocktake sebagai pemicu aksi nyata, bukan sekadar proses evaluasi. Penguatan Climate Technology Centre (CTC) dan peluncuran Technology Implementation Programme (TIP) menjadi prioritas agar akses teknologi benar-benar terwujud.
Komitmen Indonesia untuk Aksi Nyata
Sejalan dengan penutupan COP30, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menegaskan kesiapan Indonesia untuk memainkan peran konstruktif dalam mobilisasi pendanaan dan teknologi.
“Keputusan COP30 harus menjadi pijakan kuat bagi aksi nyata yang melindungi masyarakat, memperkuat ketahanan nasional, dan memastikan transisi menuju pembangunan rendah karbon berlangsung secara adil, inklusif, dan berkelanjutan tanpa ada pihak yang tertinggal,” kata Hanif.
Dengan pendekatan yang menempatkan keadilan, implementasi, dan dukungan nyata sebagai pusat strategi, Indonesia menegaskan bahwa masa depan aksi iklim global hanya dapat diwujudkan jika seluruh negara, terutama negara maju, memenuhi tanggung jawabnya secara proporsional dan konsisten.