JAKARTA - Harga aluminium diproyeksi tetap prospektif pada 2026 karena permintaan global yang meningkat, khususnya dari sektor energi terbarukan dan kendaraan listrik (EV).
Aluminium tidak hanya menjadi material utama di konstruksi dan otomotif, tetapi juga berperan penting sebagai bahan baku baterai dan komponen energi baru. Kombinasi antara kebutuhan meningkat dan produksi yang terbatas menjadikan logam ini semakin strategis.
Perdagangan aluminium di London Metal Exchange (LME) untuk kontrak tiga bulan diperdagangkan pada level US$2.813 per ton, turun 1,57% secara harian.
Harga ini sempat mencapai titik tertinggi US$2.902 per ton pada 3 November 2025, sementara koreksi terdalam tercatat US$2.316 per ton pada 9 April 2025.
Faktor Global Dorong Kenaikan Harga
Ketua Badan Keahlian Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia, Rizal Kasli, menyebutkan bahwa kenaikan harga aluminium tahun ini dipengaruhi oleh ketidakpastian geopolitik dan penurunan produksi global. China, Australia, dan Indonesia termasuk di antara negara produsen utama yang produksinya mengalami penurunan.
“Hal tersebut mendorong kebutuhan akan aluminium dalam jumlah yang besar. Diperkirakan jika masih terjadi short supply, harga masih akan terus meningkat di tahun depan,” ujar Rizal.
Permintaan aluminium yang meningkat, terutama untuk EV dan energi terbarukan (EBT), memperkuat posisi logam ini sebagai komoditas strategis yang tetap menarik bagi investor dan pelaku industri.
Tren Positif Jangka Pendek dan Menengah
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan, Bisman Bhaktiar, menambahkan bahwa tren aluminium secara umum tetap positif untuk jangka pendek dan menengah.
“Beberapa faktor menjadi pendorong kinerja industri aluminium, termasuk pengembangan energi terbarukan. Meskipun ada tantangan melambatnya ekonomi global sehingga memicu surplus produksi, potensi harga aluminium masih bisa terus naik walaupun tidak signifikan,” ujar Bisman.
Dengan demikian, meskipun ekonomi global berfluktuasi, permintaan aluminium dari sektor energi terbarukan dan EV diperkirakan cukup kuat untuk menjaga stabilitas harga.
Perspektif Pelaku Industri
Direktur Pengembangan Usaha PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), Arif Haendra, menilai harga aluminium tahun depan kemungkinan tidak akan jauh berbeda dengan kondisi saat ini karena dinamika pasar global yang sulit diprediksi.
“Aluminium tahun depan saya kira masih akan bertengger seperti saat ini karena kita kan enggak tahu kondisi eksternal,” ujar Arif.
Arif menekankan bahwa kenaikan harga belakangan ini juga dipengaruhi oleh lonjakan harga tembaga, yang mendorong substitusi penggunaan aluminium di sektor kabel listrik dan konstruksi.
“Kalau sudah normal, harga akan kembali ke sekitar US$2.600–2.700 per ton. Sekarang US$2.800 per ton karena harga tembaga lagi melonjak tinggi,” jelasnya.
Aluminium sebagai Substitusi Tembaga
Harga tembaga yang naik tinggi disebabkan gangguan produksi, termasuk penghentian operasi Freeport dan beberapa tambang di Cile. Situasi ini membuat pasar beralih ke aluminium sebagai bahan substitusi.
“Pada saat harga tembaga naik, berpindahlah ke aluminium. Kabel-kabel listrik tegangan tinggi sekarang banyak yang menggunakan aluminium karena lebih ringan. Konduktivitas listriknya juga mirip,” jelas Arif.
Walaupun suplai aluminium meningkat, jumlahnya masih terbatas sehingga mendorong harga tetap tinggi. Kombinasi permintaan global yang tinggi dan pasokan yang relatif terbatas membuat aluminium tetap menjadi logam strategis.
Kinerja Industri Aluminium Domestik
Sejalan dengan tren global, industri aluminium Indonesia menunjukkan penguatan signifikan. Peningkatan kapasitas produksi, surplus neraca perdagangan, dan investasi pada proyek refinery baru menegaskan posisi aluminium sebagai backbone industri nasional.
Industri aluminium di Indonesia kini memiliki peran penting di sektor kemasan, konstruksi, otomotif, dan energi terbarukan. Pertumbuhan sektor EV dan proyek EBT menjadi peluang baru sekaligus memperkuat ketahanan industri domestik.
Dengan kenaikan harga aluminium, laba perusahaan diperkirakan meningkat hingga 5% pada akhir tahun. Kenaikan ini juga didukung oleh stabilitas biaya produksi smelter, sehingga margin keuntungan tetap terjaga.
Prospek Aluminium 2026
Secara umum, analis memproyeksikan harga aluminium akan tetap stabil atau meningkat tipis pada 2026. Kombinasi permintaan global yang tinggi, pasokan yang relatif terbatas, serta dukungan pemerintah terhadap investasi di sektor energi baru menjadi faktor penopang.
Selain itu, permintaan domestik yang meningkat di sektor industri dan infrastruktur menambah kekuatan pasar aluminium Indonesia. Lonjakan permintaan global terhadap EV, baterai, dan energi terbarukan menjadi katalis penting yang mendorong optimisme industri.
Industri aluminium Indonesia siap memanfaatkan momentum global, menjaga stabilitas pasokan, dan mendukung transformasi energi nasional. Permintaan yang terus meningkat, kendala produksi global, serta substitusi aluminium untuk tembaga memperkuat prospek logam ini hingga 2026.
Dengan pengelolaan produksi yang efisien dan investasi berkelanjutan, aluminium dipastikan tetap menjadi komoditas strategis yang memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan penguatan industri nasional.